Rabu, 20 Mei 2009

Namanya Joni

Usianya belum genap sembilan tahun. Bocah kelas tiga di sebuah Madrasah Ibtidaiyah di kawasan Labuhan Ratu Bandar Lampung. Dia adikku yang terakhir alias anak bungsu. Sayangku padanya sama seperti sayangnya seorang kekasih terhadap kekasih yang dicintainya. Dia adik yang paling cocok denganku. Padahal aku punya dua adik lainnya, tapi sekali lagi saat ini hanya Joni yang paling cocok. Bukan berarti aku tidak sayang pada adikku yang lainnya, hanya saja aku lebih bisa mengungkapkan rasa sayangku pada Joni dalam bentuk apa pun.

Seringkali kalau aku marahan dengannya, aku bertekad untuk tidak menegur, ngobrol, atau melakukan sesuatu untuknya. Tapi selalu saja aku yang kalah. Aku sangat tidak tahan kalau dieman dengan Joni. Jadinya baru beberapa menit bertekad, sudah dibatalkan. Si Joni itu cuek banget kalau aku marah. Dia malah asyik dengan mainannya sendiri atau pergi bersama teman-temannya. Tidak mempedulikan aku yang sedang marah. Saat seperti itu pasti aku yang duluan ngajak dia ngobrol. Tapi kadang nggak mudah. Pasalnya, kadangan malah dia yang masih marah.

Didalam rumah sifatnya manja namun penuh perhatian. Aku rasa tidak berlebihan kalau aku bilang semua orang mencintainya. Untuk anak seusianya, ia tergolong dewasa. Kalau sampai rumah, dia langsung membuka tasnya hendak mengerjakan PR dari gurunya, lalu memanggilku. Aku dengan senang hati menemaninya mengerjakan PR, mengajari, atau mengoreksi (walaupun kadang-kadang malas juga, hehe..). Kalau aku sedang malas biasanya dia mengadu kepada ibu, dia bilang 'Mbak Ucinya ga mau bantuin.'. Atau kalau tugasnya banyak tapi aku benar-benar sedang malas, dia menangis. Lalu biasanya aku menyarankan besok Shubuh saja mengerjakannya dan aku minta dia membangunkan kalau aku masih tidur (hehehe.. Beneran deh, kadang-kadang Joni yang bangunin aku :p). Atau kalau malam keburu ngantuk, biasanya Joni tidur cepat lalu besok shubuhnya baru mengerjakan PR. Aku sering lihat dia kepusingan mengerjakan tugas-tugasnya. Sekarang, saat aku jauh dari keluargaku termasuk Joni, kalau aku telpon mereka malam, keseringan yang pertama aku cari adalah Joni. Kadang ibuku menjawab Joni sudah tidur. Tapi Joni dengan suaranya yang serak berteriak 'Belum..!', aku mendengarnya. Lalu ibuku tertawa, ibuku bilang tadi sepertinya sudah tidur. Lalu aku ngobrol dengan Joni, selalu aku sempatkan bertanya 'Sudah ngerjain PR belum, dek?', jawabannya beragam, terkadang sudah, kadang belum, kadang tidak ada PR, kadang dia mengatakan susah banget PR-nya lalu dia mengatakan 'Coba Mbak Uci ada disini..', aku hanya tersenyum sedih lalu menyarankan agar minta dibantu dengan kakaknya yang lain. Hmm, sebenarnya aku juga ingin selalu membimbing dan mengajari adikku yang satu itu, tapi ini aku pergi jauh-jauh juga bukan untuk diriku sendiri kok, tapi untuk semuanya, untuk orangtuaku, untuk adik-adikku, dan untuk suami serta anak-anakku yang sudah mulai aku cintai sebelum terbayang nama dan siapa mereka itu (Maksudnya, ya aku berjuang sejak sekarang untuk suami dan anak-anakku kelak insyaallah).

Di lingkungan rumah, Joni termasuk bisa diterima. Hanya saja satu kekurangan Joni, dia masih suka jajan. Kalau Joni libur sekolah dan seharian ada dirumah, ada seorang ibu tetangga kami menyuruh anaknya supaya main dengan Joni saja. Beliau menganggap Joni bisa menjadi teman yang baik untuk anaknya, dan harapannya supaya mereka berdua tidak main jauh-jauh, tidak main ke sawah, ke bendungan, ke rel kereta api, atau hujan-hujanan.

Oh iya, orang bilang wajahku dan wajah Joni sama. Kami punya mata yang sipit dan pipi yang tembem. Saat kecil aku sering disebut 'China oleng'.

Suatu petang selepas Maghrib aku menelpon keluargaku ke handphone ayahku. Ibuku yang mengangkat, ternyata mereka sedang berada diatas sepeda motor di jalan menuju ke rumah dan sedikit lagi sampai. Jadi ibuku menyarankan agar aku telpon kira-kira lima menit lagi. Tapi Joni berteriak dan bilang mau ngobrol denganku. Lalu diatas motor itu dia bercerita habis bertengkar dengan kawan perempuannya di sekolah bernama Fatimah,
"Mbak Uci, tadi aku nendang Fatimah."

Aku terkejut, dan bilang "Kok gitu?"
"Iya. Gara-garanya si Fatimah itu mainan spidol ibu guru jadi aku larang, aku bilang 'eh, jangan Fatimah.', tapi Fatimahnya masih mainan aja terus aku bilangin ke ibu guru terus Fatimahnya marah, terus nonjok aku, ya aku nangis terus aku tendang dialah.."

Aku sangat geli mendengar celoteh adikku dan berusaha sebisa mungkin menahan tawaku, lalu dengan sisa-sisa tawaku aku bertanya, "Terus guru Joni tau nggak?"
"Ya tau."
"Terus gimana?"
"Ya Fatimah dimarahlah.."
"Oo.. Tapi ya harusnya jangan ditendanglah dek, dia kan perempuan. Mbak Uci juga perempuan. Kalo ada yang nendang Mbak Uci gimana?"
"Ya abisnya Fatimah itu nakal banget sie.."

Joni punya karakter yang lumayan kuat. Kalau sudah mau sesuatu, ya harus. Terus juga menurutku (ini subjektif lho..) Joni itu baik dan dewasa sekali kalau bersama teman-temannya. Sikapnya manis. Cukup dewasa. Beberapa kali aku mendengar dan menyaksikan ia membela kawannya yang memang harus dibela. Atau meleraikan kawan-kawannya yang bertengkar. Terus aku tuh suka banget dengan sikap perhatiannya padaku. Kalau dia tau aku nangis, dia menemaniku. Walaupun diam saja dan biasanya hanya bertanya dengan nada serius 'Mbak Uci kenapa nangis, Mbak Uci?'. Yah, aku jadi malu padahal aku nangis karena habis shalat, dia tiba-tiba masuk kamarku. Lalu dia duduk didekatku sampai aku benar-benar seperti biasa lagi, dan itu cukup untukku. Saat itu aku tau Joni menulis sesuatu, tak tahu apa, aku biarkan saja, aku khawatir dia jadi malu kalau aku tanya. Beberapa jam setelah itu, aku baru ingat tadi Joni menulis sesuatu. Aku cari, ada, diselipkan ditengah-tengah buku. Ternyata isinya dia bilang aku dicari kawanku yang di Labuhan Ratu. Aku tau dia bohong dan itu cuma dia yang mengada-ada, tapi aku sangat menghargai, dan itu adalah satu bentuk perhatiannya. Aku bangga menjadi kakaknya. Aku pikir, kalau dia terus-terusan seperti ini, kelak nanti ia akan jadi seorang lelaki yang punya prinsip, namun penuh perhatian.

Aku punya sebuah puisi untuknya,

Ku mencintaimu
Seperti bumi Mencintai titah Tuhannya,
Tak pernah lelah Menanggung beban derita
Tak pernah lelah Menghisap luka

Ku mencintaimu
Seperti matahari Mencintai titah Tuhannya
Tak pernah lelah Membagi cerah cahaya
Tak pernah lelah Menghangatkan jiwa

Ku mencintaimu
Seperti air Mencintai titah Tuhannya
Tak pernah lelah Membersihkan lara
Tak pernah lelah Menyejukkan dahaga

Ku mencintaimu
Seperti bunga Mencintai titah Tuhannya
Tak pernah lelah Menebarkan aroma bahagia
Tak pernah lelah Meneduhkan gelisah nyala

(puisi berjudul Kau Mencintaiku diambil dari Novel KCB 2 halaman 137. Kata 'kau' diganti 'ku')

2 komentar:

Chan mengatakan...

Subhanallah..

Indah nian persahabatan dengan dede-mu. Akhi Chan jadi haru. Mestinya Chan bisa seperti ini tapi, waktu dan tempat tak mendukungku.

Chan selalu sibuk sendiri, kantor luarkota pulang ga mesti kadang kerumah kalo mau tugas luar bueat pamit. Alhasil, Chan tak tau bagaimana dedeku di rumah.

Mungkin takdir, taoi Chan akan berusaha membagi kebahagiaan bersamanya suatu saat. Harus!

Akhi Chan,

suci rahma mengatakan...

komunikasi kan gak selalu harus ketemu langsung. lewat telpon juga kita masih bisa tetep memotivasi dan menyemangati mereka. aku juga jauh dari adikku.. ^^