Senin, 11 Mei 2009

Episode Cita (bag.1)

Bumi masih basah oleh air hujan saat seorang gadis muda berhati lembut terus menguatkan hatinya. Malam ini ia teringat dilepas oleh linangan air mata ibu dan kecupan penuh kasih dari ayahnya beberapa waktu lalu. Juga tatapan penuh cinta dan rindu dari adik-adiknya.

Waktu itu ia sendiri tidak mengerti mengapa menyanggupi tawaran untuk bekerja menjadi seorang pembantu rumah tangga di negeri jiran. Prosesnya pun sangat cepat. Hanya berjarak satu hari setelah kesepakatan, langsung terbang. Saat itu, hanya satu yang ia yakini, ia sangat yakin kalau orang tua merestui maka segalanya akan mudah. Ridha orang tua adalah ridha Allah.

Ia berangkat tanpa setetes pun air mata. Tak tahu. Mungkin 'bleng'. Mungkin tegar. Mungkin juga optimis. Ia berangkat dengan hati dingin. Tidak terbayang sama sekali apa yang akan terjadi. Satu yang ia jaga, husnudzan pada Allah Swt.. Bukankah Allah bergantung pada prasangka hamba-Nya?

Minggu-minggu pertama adalah ujian baginya. Bertemu dengan ejen yang tidak berprikemanusiaan adalah ujian. Ditawari meraup uang dengan cara pintas adalah ujian. Dirayu bisa segera pulang dan berkumpul lagi bersama orang tua dalam waktu enam bulan dengan membawa uang lebih dari enam puluh juta rupiah adalah ujian. Oh, tidak! Gadis muda berhati lembut terus berusaha menguatkan hatinya. Tanpa air mata, ia bicara keinginannya untuk pulang dan akan minta kiriman uang pengganti semua biaya yang telah dikeluarkan untuknya hingga berada di Malaysia, ongkos, paspor, makan, dan hotel.

Keesokan harinya, hingga pukul setengah dua siang belum juga ada telepon dari kampung halaman. Orang-orang yang diamanahi untuk mengirimkan uang sebesar enam juta rupiah belum juga sekedar mengirimkan pesan singkat untuk mengabarkan bahwa mereka akan segera mentransfer. Si gadis muda berhati lembut bingung, namun tetap tenang. Ia curiga, sepertinya beberapa kali ejen kurang ajar itu mereject telepon yang masuk. Ejen tidak berprikemanusiaan itu terus mengejek dan mengancam kalau sampai pukul dua belum juga ada telepon dari kampung atau tidak bertemu ejen lain yang mau mengambilnya untuk dijual lagi sebagai pembantu, maka saat itu juga ejen itu akan menjualnya kepada China untuk dikontrak selama enam bulan sebagai wanita simpanan. Ejen brengsek itu menuntut harus dapat uang hari ini juga sebelum pukul tiga petang. Gadis muda berhati lembut diam, bingung, tidak tahu harus berbuat apa.

Pukul dua kurang lima belas menit ia dan ejen tidak berprikemanusiaan makan di sebuah restoran. Sarapan sekaligus makan siang. Semalaman gadis itu tidak tidur dan siangnya sampai pukul dua baru makan. Ah, makan bukan hal yang ia butuhkan saat itu. Ingin rasanya ia mencari-cari kesempatan untuk kabur, tapi bingung, mau kabur kemana? Ejen sialan itu pasti pintar dan akan mengejarnya kemana saja ia berlari. Makan siang itu ia sungguh takut jika tidak ada ejen lain yang mau mengambilnya. Ia juga takut bagaimana seandainya ejen baru sama seperti ejen yang bersamanya saat itu. Ia sungguh bingung. Hatinya dingin. Harus kemana? Di sisa-sisa harapannya kepada Allah, ia beristighfar dengan sangat lemah, ia mengakui dosa-dosanya, dan berdoa agar diberi kesempatan sedikit saja untuk menjaga kesucian dirinya.

Pukul dua lebih, ia diajak ejen tidak berprikemanusiaan ke KFC di seberang restoran tempat ia makan tadi. Disana ada seorang ibu berambut pirang dengan kacamata hitam diletakkan dirambutnya, penampilannya seperti anak muda. Ejen tidak berprikemanusiaan bercakap-cakap sebentar, gadis muda berhati lembut diam, malas mendengarkan. Yang ia tahu, ia dijual kepada ejen berambut pirang itu seharga tujuh ratus ringgit atau sekitar dua juta seratus ribu rupiah. Gadis itu belum yakin kalau ejen berambut pirang yang kini berada dihadapannya benar-benar akan menyalurkan dirinya sebagai seorang pembantu. Masih, dingin hatinya.

Ejen tidak berprikemanusiaan pergi meninggalkan gadis muda berhati lembut berdua dengan ejen berambut pirang. Sebelum pergi, ejen itu berpesan 'Nih, kamu lihat kan saya cuma terima tujuh ratus ringgit!?'.

Tidak lama berdua, datang seorang anak perempuan memakai seragam sekolah berbentuk baju kurung Melayu (muslim) kira-kira berusia enam belas tahun lalu mencium tangan ejen berambut pirang. Dari pembicaraan mereka, si gadis muda tahu kalau mereka adalah ibu dan anak. Gadis muda bersyukur, hatinya agak sedikit lega.

Di perjalanan menuju apartemen ejen berambut pirang, gadis muda berhati lembut tidak tahan ingin menceritakan apa yang baru saja menimpanya. Air matanya berdesak-desakan ingin keluar dari kelenjarnya. Dan seketika itu juga ia tidak segan bercerita tentang dirinya yang hampir dijual. Ejen berambut pirang terkejut mendengarnya. Anak perempuan yang memakai baju kurung yang duduk disampingnya mengelus-elus bahu gadis muda berhati lembut dan berkata 'cup.. cup.. Sudah, jangan nangis lagi ya?'. Ejen berambut pirang meyakinkan bahwa dirinya sudah aman. Ejen itu juga menyarankan agar gadis muda jangan lagi sesekali menghubungi ejen tidak berkeprimanusiaan.

Saat itu, gadis muda berhati lembut tersadar kalau dirinya telah berada di lingkungan yang aman. Ia telah bebas lepas dari orang yang hampir saja mendorongnya kedalam jurang kemaksiatan.

Dalam sujudnya, gadis muda bersyukur atas pertolongan dan kebesaran Allah. Dia memang Maha Rahman dalam setiap keadaan.

Tidak ada komentar: