Rabu, 20 Mei 2009

Namanya Joni

Usianya belum genap sembilan tahun. Bocah kelas tiga di sebuah Madrasah Ibtidaiyah di kawasan Labuhan Ratu Bandar Lampung. Dia adikku yang terakhir alias anak bungsu. Sayangku padanya sama seperti sayangnya seorang kekasih terhadap kekasih yang dicintainya. Dia adik yang paling cocok denganku. Padahal aku punya dua adik lainnya, tapi sekali lagi saat ini hanya Joni yang paling cocok. Bukan berarti aku tidak sayang pada adikku yang lainnya, hanya saja aku lebih bisa mengungkapkan rasa sayangku pada Joni dalam bentuk apa pun.

Seringkali kalau aku marahan dengannya, aku bertekad untuk tidak menegur, ngobrol, atau melakukan sesuatu untuknya. Tapi selalu saja aku yang kalah. Aku sangat tidak tahan kalau dieman dengan Joni. Jadinya baru beberapa menit bertekad, sudah dibatalkan. Si Joni itu cuek banget kalau aku marah. Dia malah asyik dengan mainannya sendiri atau pergi bersama teman-temannya. Tidak mempedulikan aku yang sedang marah. Saat seperti itu pasti aku yang duluan ngajak dia ngobrol. Tapi kadang nggak mudah. Pasalnya, kadangan malah dia yang masih marah.

Didalam rumah sifatnya manja namun penuh perhatian. Aku rasa tidak berlebihan kalau aku bilang semua orang mencintainya. Untuk anak seusianya, ia tergolong dewasa. Kalau sampai rumah, dia langsung membuka tasnya hendak mengerjakan PR dari gurunya, lalu memanggilku. Aku dengan senang hati menemaninya mengerjakan PR, mengajari, atau mengoreksi (walaupun kadang-kadang malas juga, hehe..). Kalau aku sedang malas biasanya dia mengadu kepada ibu, dia bilang 'Mbak Ucinya ga mau bantuin.'. Atau kalau tugasnya banyak tapi aku benar-benar sedang malas, dia menangis. Lalu biasanya aku menyarankan besok Shubuh saja mengerjakannya dan aku minta dia membangunkan kalau aku masih tidur (hehehe.. Beneran deh, kadang-kadang Joni yang bangunin aku :p). Atau kalau malam keburu ngantuk, biasanya Joni tidur cepat lalu besok shubuhnya baru mengerjakan PR. Aku sering lihat dia kepusingan mengerjakan tugas-tugasnya. Sekarang, saat aku jauh dari keluargaku termasuk Joni, kalau aku telpon mereka malam, keseringan yang pertama aku cari adalah Joni. Kadang ibuku menjawab Joni sudah tidur. Tapi Joni dengan suaranya yang serak berteriak 'Belum..!', aku mendengarnya. Lalu ibuku tertawa, ibuku bilang tadi sepertinya sudah tidur. Lalu aku ngobrol dengan Joni, selalu aku sempatkan bertanya 'Sudah ngerjain PR belum, dek?', jawabannya beragam, terkadang sudah, kadang belum, kadang tidak ada PR, kadang dia mengatakan susah banget PR-nya lalu dia mengatakan 'Coba Mbak Uci ada disini..', aku hanya tersenyum sedih lalu menyarankan agar minta dibantu dengan kakaknya yang lain. Hmm, sebenarnya aku juga ingin selalu membimbing dan mengajari adikku yang satu itu, tapi ini aku pergi jauh-jauh juga bukan untuk diriku sendiri kok, tapi untuk semuanya, untuk orangtuaku, untuk adik-adikku, dan untuk suami serta anak-anakku yang sudah mulai aku cintai sebelum terbayang nama dan siapa mereka itu (Maksudnya, ya aku berjuang sejak sekarang untuk suami dan anak-anakku kelak insyaallah).

Di lingkungan rumah, Joni termasuk bisa diterima. Hanya saja satu kekurangan Joni, dia masih suka jajan. Kalau Joni libur sekolah dan seharian ada dirumah, ada seorang ibu tetangga kami menyuruh anaknya supaya main dengan Joni saja. Beliau menganggap Joni bisa menjadi teman yang baik untuk anaknya, dan harapannya supaya mereka berdua tidak main jauh-jauh, tidak main ke sawah, ke bendungan, ke rel kereta api, atau hujan-hujanan.

Oh iya, orang bilang wajahku dan wajah Joni sama. Kami punya mata yang sipit dan pipi yang tembem. Saat kecil aku sering disebut 'China oleng'.

Suatu petang selepas Maghrib aku menelpon keluargaku ke handphone ayahku. Ibuku yang mengangkat, ternyata mereka sedang berada diatas sepeda motor di jalan menuju ke rumah dan sedikit lagi sampai. Jadi ibuku menyarankan agar aku telpon kira-kira lima menit lagi. Tapi Joni berteriak dan bilang mau ngobrol denganku. Lalu diatas motor itu dia bercerita habis bertengkar dengan kawan perempuannya di sekolah bernama Fatimah,
"Mbak Uci, tadi aku nendang Fatimah."

Aku terkejut, dan bilang "Kok gitu?"
"Iya. Gara-garanya si Fatimah itu mainan spidol ibu guru jadi aku larang, aku bilang 'eh, jangan Fatimah.', tapi Fatimahnya masih mainan aja terus aku bilangin ke ibu guru terus Fatimahnya marah, terus nonjok aku, ya aku nangis terus aku tendang dialah.."

Aku sangat geli mendengar celoteh adikku dan berusaha sebisa mungkin menahan tawaku, lalu dengan sisa-sisa tawaku aku bertanya, "Terus guru Joni tau nggak?"
"Ya tau."
"Terus gimana?"
"Ya Fatimah dimarahlah.."
"Oo.. Tapi ya harusnya jangan ditendanglah dek, dia kan perempuan. Mbak Uci juga perempuan. Kalo ada yang nendang Mbak Uci gimana?"
"Ya abisnya Fatimah itu nakal banget sie.."

Joni punya karakter yang lumayan kuat. Kalau sudah mau sesuatu, ya harus. Terus juga menurutku (ini subjektif lho..) Joni itu baik dan dewasa sekali kalau bersama teman-temannya. Sikapnya manis. Cukup dewasa. Beberapa kali aku mendengar dan menyaksikan ia membela kawannya yang memang harus dibela. Atau meleraikan kawan-kawannya yang bertengkar. Terus aku tuh suka banget dengan sikap perhatiannya padaku. Kalau dia tau aku nangis, dia menemaniku. Walaupun diam saja dan biasanya hanya bertanya dengan nada serius 'Mbak Uci kenapa nangis, Mbak Uci?'. Yah, aku jadi malu padahal aku nangis karena habis shalat, dia tiba-tiba masuk kamarku. Lalu dia duduk didekatku sampai aku benar-benar seperti biasa lagi, dan itu cukup untukku. Saat itu aku tau Joni menulis sesuatu, tak tahu apa, aku biarkan saja, aku khawatir dia jadi malu kalau aku tanya. Beberapa jam setelah itu, aku baru ingat tadi Joni menulis sesuatu. Aku cari, ada, diselipkan ditengah-tengah buku. Ternyata isinya dia bilang aku dicari kawanku yang di Labuhan Ratu. Aku tau dia bohong dan itu cuma dia yang mengada-ada, tapi aku sangat menghargai, dan itu adalah satu bentuk perhatiannya. Aku bangga menjadi kakaknya. Aku pikir, kalau dia terus-terusan seperti ini, kelak nanti ia akan jadi seorang lelaki yang punya prinsip, namun penuh perhatian.

Aku punya sebuah puisi untuknya,

Ku mencintaimu
Seperti bumi Mencintai titah Tuhannya,
Tak pernah lelah Menanggung beban derita
Tak pernah lelah Menghisap luka

Ku mencintaimu
Seperti matahari Mencintai titah Tuhannya
Tak pernah lelah Membagi cerah cahaya
Tak pernah lelah Menghangatkan jiwa

Ku mencintaimu
Seperti air Mencintai titah Tuhannya
Tak pernah lelah Membersihkan lara
Tak pernah lelah Menyejukkan dahaga

Ku mencintaimu
Seperti bunga Mencintai titah Tuhannya
Tak pernah lelah Menebarkan aroma bahagia
Tak pernah lelah Meneduhkan gelisah nyala

(puisi berjudul Kau Mencintaiku diambil dari Novel KCB 2 halaman 137. Kata 'kau' diganti 'ku')

Selasa, 19 Mei 2009

Episode Cita (bag. 3)

Kini gadis muda berhati lembut hidup berdua dengan seorang nenek tua. Rumah panggung berdinding papan membuatnya merasa berada di sebuah negeri entah dimana, mungkin negeri dongeng.

Nenek tua itu ia panggil Nik Aji. Nik Aji sangat menyayanginya. Ia menyadari hal itu karena perlakuan-perlakuan diawal yang sungguh berbeda dengan pembantu Nik Aji sebelum-sebelumnya. Nik Aji menyukai namanya, memberikan sebuah selimut yang lumayan bagus untuknya, makan satu meja, dan lainnya. Kata Engku (gelar untuk puteri keturunan raja) yang merupakan mantan menantu Nik Aji yang pada saat pertama kali gadis muda datang beliau ada dirumah Nik Aji untuk beberapa hari, gadis muda berhati lembut itu pembantu yang istimewa, spesial. Pasalnya, seumur-umur tidak ada pembantu Nik Aji yang boleh makan di meja makan bersama dengannya. Selimut pun pembantu sebelumnya malah diberi selimut yang sudah banyak bolongnya. Gadis muda sedikit tak percaya dan bertanya-tanya apa yang menyebabkan Nik Aji berlaku sedemikian kepadanya. Engku juga heran, memang gadis muda sholat dan mengaji Qur'an, tapi pembantu sebelumnya juga seperti itu, sholat dan mengaji.

Hal itu semakin menambah panjang sujud syukur sang gadis berhati lembut. Ia merasa Nik Aji adalah sebuah ganti yang diberikan Allah atas peristiwa-peristiwa yang dialaminya ketika bersama ejen tidak berprikemanusiaan di Kuala Lumpur. Ia merasa Nik Aji adalah jawaban dari doa-doanya dan doa orang-orang yang mencintainnya. Ia merasa Nik Aji adalah buah dari husnudzannya kepada Allah yang selalu ia jaga. Sungguh, Allah tidak pernah mengecewakan seorang hamba yang beriman kepada-Nya. Gadis muda selalu berdoa memohon kebaikan sifat Nik Aji, dan berlindung dari keburukan sifatnya.

Kesepian terlalu sering datang menyelimuti hati gadis muda berhati lembut. Dirumah Nik Aji tidak terlalu banyak pekerjaan. Malah ia selalu disuruh tidur siang sejak lepas Dzuhur sampai tiba Ashar. Namun gadis muda hampir tidak pernah tidur siang, ia memang masuk kamar, keseringan yang ia lakukan adalah membaca buku, tidur-tiduran, merancang peta masa depan, merenung, atau membaca Qur'an menunggu Ashar. Pada saat-saat seperti itulah ia banyak teringat kampung halamannya, teringat kedua orantuanya, adik-adiknya, dan laki-laki yang dikasihinya. Biasanya ia duduk di tepi jendela, membuka lebar-lebar daun jendela, mengkibaskan gorden, lalu diam. Saat seperti itu rasa rindu selalu menyergap jiwanya. Saat seperti itu ia menangis, mungkin ada rasa sesal. Saat seperti itu, ingin ia mengabaikan semua cita-cita yang mengantarkannya sampai ke negeri itu. Ingin pulang saja.

Setiap shalat gadis muda berhati lembut berdoa memohon agar Tuhannya berjanji padanya untuk mengumpulkan kembali ia dan keluarganya dalam keadaan utuh, di dunia dan di akhirat. Ia juga memohon agar Allah mempertemukan lagi ia dan keluarganya dalam keadaan yang lebih baik dan berkah dengan rahmat-Nya. Ia sadar, mungkin terlalu lancang berdoa seperti itu, tapi itulah yang bisa ia lakukan untuk menguatkan hatinya.

Suatu petang selepas Maghrib ia menelpon laki-laki yang dikasihinya,
"Ganggu nggak Kak?"
"Nggak."
"Lagi dimana?"
"Di rumah sakit."
"Ngapain di rumah sakit?"
"Kakak sakit. Udah empat hari dirawat di rumah sakit. Sakit tipes."
"Oo.." Gadis muda hanya tercengang dan tidak tahu harus bereaksi apa.
"Ini kalo ngobrol kepalanya sakit nggak?"
"Nggak apa-apa. Entar kalo sakit kakak ngomong."

Sekitar lima belas menit lamanya mereka berbincang. Laki-laki itu berpesan agar gadis muda menjaga dirinya baik-baik dan akan selalu menyempatkan diri berdoa untuknya. Hati gadis muda basah. Jiwanya sedih. Virus Salmonella typhosa rupanya telah berhasil menyerang tubuh lelaki yang dikasihinya tanpa memberi kesempatan untuk bertahan.

Selama dua bulan setelah melangkahkan kaki meninggalkan kampung halaman, dalam tidurnya, gadis muda selalu bermimpi berjumpa dengan orang-orang disekitarnya di Indonesia. Ibunya, ayahnya, adik-adiknya, teman-teman, lelaki yang dikasihinya, atau malah orang yang hanya satu dua kali berjumpa dengannya. Dalam kurun waktu itu, tidak pernah sekali pun orang-orang Malaysia yang ia kenal hadir dalam mimpinya. Hal itu semakin membuat haru biru hatinya. Ia semakin ingin cepat pulang dan mengabaikan cita-citanya.

Kadang ia bermimpi melihat ayahnya yang sangat merestui dirinya. Setelah bangun, gadis muda berpikir mungkin ayahnya sangat merindukannya.

Atau bermimpi bertemu lelaki yang dikasihinya lalu sahabatnya yang dulu pernah juga mengharapkan lelaki itu namun kini telah menikah melarang ia untuk berhubungan lagi dengan lelaki itu. Ah, tidak tahu. Mungkin mimpinya mengandung sebuah arti, mungkin juga datangnya dari setan yang berusaha menggoda manusia dari arah mana saja.

Masih banyak lagi mimpi-mimpi gadis itu. Mimpi yang membuatnya ingin segera pulang dan mengabaikan cita-citanya.

Mengejar Bintang

Bintang tinggi
Bintang bertaburan
Bintang bersinar
Bintang jauh
Bintang di langit hitam

Bintang itulah cita-citaku
Bintang itulah yang menyinari hidupku
Bintang itulah cahaya hatiku
Bintang itu arahku

Aku dan bintang saling merindu
Bintang memanggil-manggil namaku
Bintang menatapku
Bintang tersenyum padaku
Bintang menantiku

Bintang mengantarkan aku kesini
Ke tempat orang-orang pemimpi bintang
Tempat orang-orang menggapai bintang
Tempat orang-orang mengejar bintang

Rabu, 13 Mei 2009

Episode Cita (bag. 2)

Sebuah bus malam agak besar membawanya pergi jauh. Sepanjang jalan, gadis muda berhati lembut menjumpai bintang-bintang yang bertaburan di langit hitam. Seingatnya ini adalah malam paling banyak bintang. Seingatnya belum pernah ia melihat bintang sebanyak malam ini. Bus itu berangkat pukul 21.00 tepat waktu Kuala Lumpur. Ia diantar oleh salah seorang anak perempuan ejen berambut pirang. Ia memanggilnya Kak Ila. Kak Ila baru saja beberapa bulan mengundurkan diri dari tempat kerjanya di sebuah hotel berbintang lima di Kuala Lumpur. Ia mengundurkan diri karena menurutnya gaji sebesar RM.2000 atau sekitar enam juta rupiah tidak cukup untuk hidup di Kuala Lumpur. Gadis muda berhati lembut jadi teringat laki-laki yang dikasihinya. Laki-laki itu juga bekerja di sebuah hotel di jantung kota provinsinya. Gadis muda melihat Kak Ila itu cantik sekali. Ia jadi berpikir teman-teman kerja wanita laki-laki yang dikasihinya juga pasti cantik-cantik.

Pukul 01.00 dini hari bus belum juga sampai. Gadis muda berhati lembut tidak tahu bus yang ia naiki itu akan membawanya kemana. Ejen berambut pirang juga tidak memberi tahu berapa jam ia akan berada didalam bus.

Mendekati pukul 04.30 gadis berhati lembut terbangun dari tidurnya. Ia lihat bangku di sekelilingnya sudah kosong. Hanya tinggal ia berdua dengan sopir bus. Rasa takut pasti ada didalam dadanya, tapi ia tidak mau berpikir macam-macam. Ia maju, duduk di bangku tak jauh dari sopir. Ingin bertanya seberapa lagi jauh perjalanannya. Seketika itu di depan jalan, ia melihat beberapa orang berseragam polisi menyetop bus yang dinaikinya. Ia benar-benar takut. Pasalnya, ia orang asing disana. Entah, paspornya dimana. Ia langsung bilang kepada sopir didekatnya
"Pakcik, cemana ini, saya takda paspor?"

"Ah, tak apa, duduk saja."

Gadis muda duduk diam agak bersembunyi di kursi agak belakang. Bus tetap melaju dengan tenangnya. Sopir itu bertanya
"Memangnya paspor adik mana?"

Gadis muda hanya menggeleng-gelengkan kepala dan menjawab tak tahu.

Pukul 05.00 tepat, sopir bus turun dan berbincang dengan seorang lelaki agak gendut memakai sarung. Lalu menyuruh gadis muda untuk turun. Ia bilang laki-laki itu adalah orang yang menjemputnya.

Didalam mobil, lelaki agak gendut menyetel kaset murottal. Hati gadis muda semakin tenang karena ia yakin bahwa dirinya aman.

Keesokan harinya, ada seorang ibu yang anggun berbaju ungu beserta suaminya datang kerumah lelaki agak gendut. Lalu gadis muda dipanggil dan ditunjukkan ikut dengan sepasang suami isteri itu. Gadis muda mencium tangan ibu anggun berbaju ungu sambil memperkenalkan namanya dan bertanya
"Ibu majikan saya?"

"Oh, tak. Nanti adik duduk umah ibu saya.."

Di perjalanan menuju rumah majikan, sepasang suami isteri itu menasihati gadis muda berhati lembut agar bersabar hidup bersama dengan seorang nenek berusia delapan puluh enam tahun. Gadis muda mendengarkan. Ia meminta doa dari sepasang suami isteri itu agar diberi kemudahan.

Mobil sedan Toyota yang dinaiki gadis muda berhati lembut berhenti di pelataran sebuah rumah panggung berdinding papan. Suami isteri itu bilang itu adalah rumah orangtuanya yang berarti akan menjadi tempatnya bekerja selama dua tahun kontrak.

Mereka bertiga masuk. Lalu gadis muda dipertemukan dengan seorang nenek tua berusia delapan puluh enam tahun. Gadis muda mencium tangan nenek tua dengan penuh ta'zhim. Nenek tua bertanya siapa namanya. Gadis muda berhati lembut menyebutkan namanya. Subhanallah, nenek tua memuji nama gadis muda. Bagus sekali namanya, katanya.

Saat itu juga, gadis muda berhati lembut meminta agar suami isteri yang mengantarnya menelpon ayahnya di kampung untuk mengabarkan bahwa dirinya telah aman.

Semua Pake Waktu!

Memang bener ya kata orang kalau waktu itu mahal! Aku baru sadar. Beberapa bulan yang lalu, aku sangat berharap supaya waktu cepat berlalu. Tapi sekarang aku malah berharap supaya waktu ditambah dua jam saja, jadi jumlah waktu dalam satu hari ada dua puluh enam jam.

Gimana ga berharap supaya waktu ditambah!? Pasalnya, tugasku numpuuuk sekali. Duh, bingung deh. Padahal seluruh waktuku sudah dijadwal. Dari mulai bangun sampai tidur lagi. Kapan selesain kerjaan pokok dan kapan selesain kerjaan sampingan. Berapa jam tidur dalam sehari, mandi, sampai sholat. Semuanya sudah diatur. Tanganku juga udah mulai bisa diajak kompromi untuk kerja lebih gesit lagi. Tapi, lha kok ada aja ya kerjaan yang ketinggalan alias ga tersentuh? Belum lagi kalo ada tugas-tugas tak terduga misalkan, wah, itu yang buat jadwal sehari jadi pada mundur semua, ujung-ujungnya matahari terbenam dan langit pakai jubah hitam, terus jarum jam menunjukkan ke angka dekat tengah malam, ya sudah deh, kalo udah begitu biasanya lewat dan besoknya bertambah tumpukan kerjaan. Makanya ga boleh sama sekali telat bangun tidur ato santai-santai meski cuma lima belas menit!

Aku dan bosku sering ketawa kalo ada kerjaan baru datang lagi. Bosku tau banget kerjaanku banyak. Bosku ga bisa bantu, bukan apa-apa, tapi karena bosku juga kerja ga berhenti-berhenti tuh. Aku jadi dapet contoh dari beliau. Kalo udah ketawa, bosku paling bilang
" Nah, Suci, banyak sangat kerja Suci.."

Aku ketawa, terus jawab
" Yah, tak apalah Bu. Suci minta kekuatan dari Yang Maha Kuat."

"Suci harus pandai-pandai atur masa. Suci juga harus berehat. Nanti Suci sakit.."

"Iya, Bu.."

Untuk makan, sekarang aku juga mikir-mikir. Makan itu pake waktu. Kalo di meja makan ga ada apa-apa, berarti harus masak dulu. Wah, berapa banyak tuh waktu yang dibutuhin untuk masak nasi dan lauk pauknya? Kalo pun ada makanan sisa kemarin misalkan, kita juga butuh waktu untuk panasin makanan itu.. Belum lagi makannya, paling ga pake waktu lima belas menit. Itu juga berarti setelah suapan terakhir badan langsung gerak lagi. Hmm, waktu memang mahal ya?? Waktu, sungguh berharga dirimu..

Andainya kuat, aku pengen deh cuma tidur tiga jam dalam sehari. Sisanya biar aku pake untuk kerja sekaligus ibadah. Nah, ini dia ni yang paling penting dan disinilah letak kenikmatannya. Kita harus meniatkan semua yang kita lakukan hanya untuk Allah Swt. semata. Karena sungguh merugi kalau kita sudah capek-capek luar biasa tapi yang didapetin cuma dunia yang ga seberapa. Kalo kata Aa' Gym, ' Rugi kalo kita banting tulang cuma untuk mencari sesuap nasi. Sudah tulang yang dibanting, tapi cuma sesuap nasi yang didapat'. Tapi kalau semuanya kita niatkan untuk Allah Swt., mudah-mudahan yang kita dapat bukan hanya dunia tapi juga akhirat. Amiin..

Senin, 11 Mei 2009

Episode Cita (bag.1)

Bumi masih basah oleh air hujan saat seorang gadis muda berhati lembut terus menguatkan hatinya. Malam ini ia teringat dilepas oleh linangan air mata ibu dan kecupan penuh kasih dari ayahnya beberapa waktu lalu. Juga tatapan penuh cinta dan rindu dari adik-adiknya.

Waktu itu ia sendiri tidak mengerti mengapa menyanggupi tawaran untuk bekerja menjadi seorang pembantu rumah tangga di negeri jiran. Prosesnya pun sangat cepat. Hanya berjarak satu hari setelah kesepakatan, langsung terbang. Saat itu, hanya satu yang ia yakini, ia sangat yakin kalau orang tua merestui maka segalanya akan mudah. Ridha orang tua adalah ridha Allah.

Ia berangkat tanpa setetes pun air mata. Tak tahu. Mungkin 'bleng'. Mungkin tegar. Mungkin juga optimis. Ia berangkat dengan hati dingin. Tidak terbayang sama sekali apa yang akan terjadi. Satu yang ia jaga, husnudzan pada Allah Swt.. Bukankah Allah bergantung pada prasangka hamba-Nya?

Minggu-minggu pertama adalah ujian baginya. Bertemu dengan ejen yang tidak berprikemanusiaan adalah ujian. Ditawari meraup uang dengan cara pintas adalah ujian. Dirayu bisa segera pulang dan berkumpul lagi bersama orang tua dalam waktu enam bulan dengan membawa uang lebih dari enam puluh juta rupiah adalah ujian. Oh, tidak! Gadis muda berhati lembut terus berusaha menguatkan hatinya. Tanpa air mata, ia bicara keinginannya untuk pulang dan akan minta kiriman uang pengganti semua biaya yang telah dikeluarkan untuknya hingga berada di Malaysia, ongkos, paspor, makan, dan hotel.

Keesokan harinya, hingga pukul setengah dua siang belum juga ada telepon dari kampung halaman. Orang-orang yang diamanahi untuk mengirimkan uang sebesar enam juta rupiah belum juga sekedar mengirimkan pesan singkat untuk mengabarkan bahwa mereka akan segera mentransfer. Si gadis muda berhati lembut bingung, namun tetap tenang. Ia curiga, sepertinya beberapa kali ejen kurang ajar itu mereject telepon yang masuk. Ejen tidak berprikemanusiaan itu terus mengejek dan mengancam kalau sampai pukul dua belum juga ada telepon dari kampung atau tidak bertemu ejen lain yang mau mengambilnya untuk dijual lagi sebagai pembantu, maka saat itu juga ejen itu akan menjualnya kepada China untuk dikontrak selama enam bulan sebagai wanita simpanan. Ejen brengsek itu menuntut harus dapat uang hari ini juga sebelum pukul tiga petang. Gadis muda berhati lembut diam, bingung, tidak tahu harus berbuat apa.

Pukul dua kurang lima belas menit ia dan ejen tidak berprikemanusiaan makan di sebuah restoran. Sarapan sekaligus makan siang. Semalaman gadis itu tidak tidur dan siangnya sampai pukul dua baru makan. Ah, makan bukan hal yang ia butuhkan saat itu. Ingin rasanya ia mencari-cari kesempatan untuk kabur, tapi bingung, mau kabur kemana? Ejen sialan itu pasti pintar dan akan mengejarnya kemana saja ia berlari. Makan siang itu ia sungguh takut jika tidak ada ejen lain yang mau mengambilnya. Ia juga takut bagaimana seandainya ejen baru sama seperti ejen yang bersamanya saat itu. Ia sungguh bingung. Hatinya dingin. Harus kemana? Di sisa-sisa harapannya kepada Allah, ia beristighfar dengan sangat lemah, ia mengakui dosa-dosanya, dan berdoa agar diberi kesempatan sedikit saja untuk menjaga kesucian dirinya.

Pukul dua lebih, ia diajak ejen tidak berprikemanusiaan ke KFC di seberang restoran tempat ia makan tadi. Disana ada seorang ibu berambut pirang dengan kacamata hitam diletakkan dirambutnya, penampilannya seperti anak muda. Ejen tidak berprikemanusiaan bercakap-cakap sebentar, gadis muda berhati lembut diam, malas mendengarkan. Yang ia tahu, ia dijual kepada ejen berambut pirang itu seharga tujuh ratus ringgit atau sekitar dua juta seratus ribu rupiah. Gadis itu belum yakin kalau ejen berambut pirang yang kini berada dihadapannya benar-benar akan menyalurkan dirinya sebagai seorang pembantu. Masih, dingin hatinya.

Ejen tidak berprikemanusiaan pergi meninggalkan gadis muda berhati lembut berdua dengan ejen berambut pirang. Sebelum pergi, ejen itu berpesan 'Nih, kamu lihat kan saya cuma terima tujuh ratus ringgit!?'.

Tidak lama berdua, datang seorang anak perempuan memakai seragam sekolah berbentuk baju kurung Melayu (muslim) kira-kira berusia enam belas tahun lalu mencium tangan ejen berambut pirang. Dari pembicaraan mereka, si gadis muda tahu kalau mereka adalah ibu dan anak. Gadis muda bersyukur, hatinya agak sedikit lega.

Di perjalanan menuju apartemen ejen berambut pirang, gadis muda berhati lembut tidak tahan ingin menceritakan apa yang baru saja menimpanya. Air matanya berdesak-desakan ingin keluar dari kelenjarnya. Dan seketika itu juga ia tidak segan bercerita tentang dirinya yang hampir dijual. Ejen berambut pirang terkejut mendengarnya. Anak perempuan yang memakai baju kurung yang duduk disampingnya mengelus-elus bahu gadis muda berhati lembut dan berkata 'cup.. cup.. Sudah, jangan nangis lagi ya?'. Ejen berambut pirang meyakinkan bahwa dirinya sudah aman. Ejen itu juga menyarankan agar gadis muda jangan lagi sesekali menghubungi ejen tidak berkeprimanusiaan.

Saat itu, gadis muda berhati lembut tersadar kalau dirinya telah berada di lingkungan yang aman. Ia telah bebas lepas dari orang yang hampir saja mendorongnya kedalam jurang kemaksiatan.

Dalam sujudnya, gadis muda bersyukur atas pertolongan dan kebesaran Allah. Dia memang Maha Rahman dalam setiap keadaan.

Sabtu, 09 Mei 2009

SMS Biru (bag. 2)

Satu bulan setelah akhwat tersebut mengirimkan SMS biru kepada sahabat ikhwannya, tidak ada yang berubah. Sikap mereka tetap bersahabat. Keduanya tetap merasa dekat. Mereka tetap saling berkirim SMS ria. Menanyakan keadaan, curhat, berbagi inspirasi, dan lainnya. Seperti biasa. Seolah tidak pernah ada SMS biru.

Aneh. Bagi si akhwat ini semua aneh. Belum pernah ia seakrab itu dengan seorang lelaki. Jangankan akrab sampai curhat, diajak berkenalan pun rada susah. Tapi ini aneh, harusnya ia malu karena telah berani menyampaikan pernyataan kepada seorang ikhwan tentang perasaannya. Harusnya ia tidak perlu lagi berkomunikasi dengan seorang ikhwan yang telah jelas tak ada maksud lain kepada dirinya selain sahabat. Sekali lagi, aneh. Sering ia bertanya dalam hati 'sampai kapan akan begini?' .

Ingin ia menepis semua rasa yang ada didalam hati. Ingin ia tulus bersahabat dengan ikhwan itu.

Mungkin akhwat tersebut sangat menyayangkan jika sampai kehilangan seorang seperti sahabatnya itu. Dimatanya, ikhwan itu memiliki semua yang ia inginkan. Ia suka cara ikhwan itu meladeni dirinya, marahnya, cueknya, pedulinya, dan semuanya. Dan herannya lagi, ia bisa mencurahkan sedemikian kasihnya kepada sahabat ikhwannya. Suatu hal yang tidak bisa ia lakukan selama ini. Dan ia juga merasa ikhwan itu sungguh menghargai dan menikmati semua pemberiannya. Sebenarnya, kalau saja ia bisa meninggalkan ikhwan itu, selesailah masalah yang menyangkut hatinya. Toh, ia sekarang aman. Tempat kerjanya mendukung ia untuk tidak bertemu dengan seorang lelaki manapun. Dan selama ini sangat jarang lelaki mengenalnya. Teman lelaki, bisa dihitung dengan jarinya.

Di suatu malam ia berdoa,
" Ya Rabbi, siapa sebenarnya ikhwan itu? Mengapa susah sekali menepis bayangnya? Hamba ingin melupakan dia walau satu detik saja..

Ya Rabb.. Hamba mohon sucikan hati ini. Hamba mohon bersihkan hati hamba.. Hamba memang menginginkannya.. Tapi sungguh hamba serahkan semua kepada-Mu..

Duhai Rabb.. Jika ada kasih antara kami, sungguh kami menitipkan kasih ini kepada-Mu. Karena kami sungguh lemah, tak akan mampu memikul beban kasih dari-Mu. Amin.. "

Jumat, 01 Mei 2009

Mei yang Membahagiakan

Selamat datang Bulan Mei.
Bulan yang membahagiakan bagiku. Datangnya paling disambut diantara bulan-bulan yang lain. Karena di bulan inilah aku dilahirkan, dua puluh dua tahun yang lalu.

Mei kali ini aku melaluinya sendirian. Di negeri orang. Biasanya ibuku selalu membeli bakso dibungkus dan dibawa pulang ke rumah. Kalau sedang tidak ada uang, biasanya hanya beli tiga bungkus jadi satu bungkus dibagi untuk dua orang. Ya, jumlah keluarga inti dirumahku ada enam orang. Ibu, ayah, aku dan tiga adikku. Begitu selalu. Kalau keluarga dirumah ada yang berulang tahun ibu dan ayahku selalu menyiapkan budget untuk beli bakso.

Tapi Mei kali ini dan mungkin tahun besok aku melaluinya sendirian. Meski aku yakin seisi rumah ingat tanggal lahirku. Aku ingat, beberapa tahun yang lalu, waktu aku kelas tiga SMA, ibuku memberikan kado yang dibungkus dengan rapihnya untukku. Dan isinya? Subhanallah.. Isinya adalah dua bungkus wafer Tango. Memang harganya tidak seberapa, tapi sungguh kesannya luar biasa. Aku masih ingat sampai sekarang, dan akan selalu kuingat sampai mati. Dan saat aku sudah mati, di akhirat nanti akan aku jadikan saksi di hadapan Allah bahwa ibuku baik sekali dan agar Dia berkenan memaafkan segala kekurangan ibuku lalu meridhainya untuk masuk kedalam surga-Nya yang kekal abadi. Ah, basah pipiku mengetik artikel ini. Aku rindu ibu, ayah dan adikku. Kalau aku ada ditengah-tengah mereka pasti mereka menyalami aku, mengucapkan selamat padaku, dan mendoakan kebaikan untukku.

Aku rindu dua bungkus wafer Tango dari ibuku..