Selasa, 19 Mei 2009

Episode Cita (bag. 3)

Kini gadis muda berhati lembut hidup berdua dengan seorang nenek tua. Rumah panggung berdinding papan membuatnya merasa berada di sebuah negeri entah dimana, mungkin negeri dongeng.

Nenek tua itu ia panggil Nik Aji. Nik Aji sangat menyayanginya. Ia menyadari hal itu karena perlakuan-perlakuan diawal yang sungguh berbeda dengan pembantu Nik Aji sebelum-sebelumnya. Nik Aji menyukai namanya, memberikan sebuah selimut yang lumayan bagus untuknya, makan satu meja, dan lainnya. Kata Engku (gelar untuk puteri keturunan raja) yang merupakan mantan menantu Nik Aji yang pada saat pertama kali gadis muda datang beliau ada dirumah Nik Aji untuk beberapa hari, gadis muda berhati lembut itu pembantu yang istimewa, spesial. Pasalnya, seumur-umur tidak ada pembantu Nik Aji yang boleh makan di meja makan bersama dengannya. Selimut pun pembantu sebelumnya malah diberi selimut yang sudah banyak bolongnya. Gadis muda sedikit tak percaya dan bertanya-tanya apa yang menyebabkan Nik Aji berlaku sedemikian kepadanya. Engku juga heran, memang gadis muda sholat dan mengaji Qur'an, tapi pembantu sebelumnya juga seperti itu, sholat dan mengaji.

Hal itu semakin menambah panjang sujud syukur sang gadis berhati lembut. Ia merasa Nik Aji adalah sebuah ganti yang diberikan Allah atas peristiwa-peristiwa yang dialaminya ketika bersama ejen tidak berprikemanusiaan di Kuala Lumpur. Ia merasa Nik Aji adalah jawaban dari doa-doanya dan doa orang-orang yang mencintainnya. Ia merasa Nik Aji adalah buah dari husnudzannya kepada Allah yang selalu ia jaga. Sungguh, Allah tidak pernah mengecewakan seorang hamba yang beriman kepada-Nya. Gadis muda selalu berdoa memohon kebaikan sifat Nik Aji, dan berlindung dari keburukan sifatnya.

Kesepian terlalu sering datang menyelimuti hati gadis muda berhati lembut. Dirumah Nik Aji tidak terlalu banyak pekerjaan. Malah ia selalu disuruh tidur siang sejak lepas Dzuhur sampai tiba Ashar. Namun gadis muda hampir tidak pernah tidur siang, ia memang masuk kamar, keseringan yang ia lakukan adalah membaca buku, tidur-tiduran, merancang peta masa depan, merenung, atau membaca Qur'an menunggu Ashar. Pada saat-saat seperti itulah ia banyak teringat kampung halamannya, teringat kedua orantuanya, adik-adiknya, dan laki-laki yang dikasihinya. Biasanya ia duduk di tepi jendela, membuka lebar-lebar daun jendela, mengkibaskan gorden, lalu diam. Saat seperti itu rasa rindu selalu menyergap jiwanya. Saat seperti itu ia menangis, mungkin ada rasa sesal. Saat seperti itu, ingin ia mengabaikan semua cita-cita yang mengantarkannya sampai ke negeri itu. Ingin pulang saja.

Setiap shalat gadis muda berhati lembut berdoa memohon agar Tuhannya berjanji padanya untuk mengumpulkan kembali ia dan keluarganya dalam keadaan utuh, di dunia dan di akhirat. Ia juga memohon agar Allah mempertemukan lagi ia dan keluarganya dalam keadaan yang lebih baik dan berkah dengan rahmat-Nya. Ia sadar, mungkin terlalu lancang berdoa seperti itu, tapi itulah yang bisa ia lakukan untuk menguatkan hatinya.

Suatu petang selepas Maghrib ia menelpon laki-laki yang dikasihinya,
"Ganggu nggak Kak?"
"Nggak."
"Lagi dimana?"
"Di rumah sakit."
"Ngapain di rumah sakit?"
"Kakak sakit. Udah empat hari dirawat di rumah sakit. Sakit tipes."
"Oo.." Gadis muda hanya tercengang dan tidak tahu harus bereaksi apa.
"Ini kalo ngobrol kepalanya sakit nggak?"
"Nggak apa-apa. Entar kalo sakit kakak ngomong."

Sekitar lima belas menit lamanya mereka berbincang. Laki-laki itu berpesan agar gadis muda menjaga dirinya baik-baik dan akan selalu menyempatkan diri berdoa untuknya. Hati gadis muda basah. Jiwanya sedih. Virus Salmonella typhosa rupanya telah berhasil menyerang tubuh lelaki yang dikasihinya tanpa memberi kesempatan untuk bertahan.

Selama dua bulan setelah melangkahkan kaki meninggalkan kampung halaman, dalam tidurnya, gadis muda selalu bermimpi berjumpa dengan orang-orang disekitarnya di Indonesia. Ibunya, ayahnya, adik-adiknya, teman-teman, lelaki yang dikasihinya, atau malah orang yang hanya satu dua kali berjumpa dengannya. Dalam kurun waktu itu, tidak pernah sekali pun orang-orang Malaysia yang ia kenal hadir dalam mimpinya. Hal itu semakin membuat haru biru hatinya. Ia semakin ingin cepat pulang dan mengabaikan cita-citanya.

Kadang ia bermimpi melihat ayahnya yang sangat merestui dirinya. Setelah bangun, gadis muda berpikir mungkin ayahnya sangat merindukannya.

Atau bermimpi bertemu lelaki yang dikasihinya lalu sahabatnya yang dulu pernah juga mengharapkan lelaki itu namun kini telah menikah melarang ia untuk berhubungan lagi dengan lelaki itu. Ah, tidak tahu. Mungkin mimpinya mengandung sebuah arti, mungkin juga datangnya dari setan yang berusaha menggoda manusia dari arah mana saja.

Masih banyak lagi mimpi-mimpi gadis itu. Mimpi yang membuatnya ingin segera pulang dan mengabaikan cita-citanya.

Tidak ada komentar: