Salah satu kawan saya bercerita. Dulu dia mendapat hidayah untuk menutup auratnya adalah ketika sudah kelas tiga SMK. Terang saja kedua orang tuanya keberatan karena alasan seragam sekolah yang 'tanggung'. Lalu mungkin karena hidayah yang sudah tertanam kuat di dalam dada, dan juga keinginan yang membuncah-buncah dan sudah tidak bisa dibendung lagi, kawan saya tersebut berjuang sendirian, tanpa bantuan kedua orang tuanya sama sekali. Ia mencari kesana kemari untuk meminta kepada kakak kelas yang sudah lulus dan seragam sekolahnya sudah tidak terpakai agar diberikan kepadanya. Alhamdulillah, dapat. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia berangkat ke sekolah dengan seragam 'baru' yang menutup aurat (meskipun saat itu belum dapat seragam Pramuka). Seisi rumah kaget melihat penampilan kawan saya itu. Namun mau bagaimana lagi?? Pasrah. Ketika sudah hari Kamis berarti besoknya hari Jumat dan besoknya lagi hari Sabtu yang mengharuskan memakai seragam Pramuka, kawan saya mendapat kejutan, orang tuanya memaksakan diri membelikan seragam Pramuka. Namun ada yang disayangkan, hingga kini komunikasi mereka agak terganggu, kawan saya bilang memang keluarganya masing-masing punya pendapat sendiri dan sangat kuat, kalau sudah punya pendapat maka yang lain tidak bisa mengganggu gugat si empunya pendapat itu.
Kawan saya yang satu ini lain lagi ceritanya. Dia sahabat kecil saya sewaktu rumah kami masih sama-sama di belakang DCC Wisma Bandar Lampung. Sahabat kecil saya itu anak tunggal, cerdas (sayangnya saya ga secerdas dia, hehe..). Dimanapun dia sekolah, maka tahun berikutnya (karena perbedaan usia satu tahun antara saya dan sahabat kecil saya), orang tua saya memasukkan saya ke sekolah teman saya itu. TK Aisiyah Bustanul Atfal Labuhan Ratu, dan SDN 2 Beringin Labuhan Ratu. Tapi sayang, persahabatan kami cuma sampai saya kelas tiga SD. Waktu itu dia pindah rumah ke Kampung Baru (kampungnya mahasiswa) yang lokasinya ga jauh dari Universitas Lampung. Dan saya beserta kedua orang tua pindah rumah ke Natar Lampung Selatan.
Sewaktu sahabat kecil saya kelas enam SD, ayahnya meninggal. Jadi dia hanya hidup berdua dengan ibunya. Ibunya yang memang seorang mu'alaf (sewaktu akan menikah), hingga saat ini belum mengijinkan sahabat kecil saya itu untuk berjilbab. Dengan alasan klasik, takut susah cari kerja. Saya yakin di dalam hati sahabat kecil saya itu ada sebuah keinginan yang mendera-dera kuatnya luar biasa untuk berjilbab. Tapi karena ia sungguh menghormati ibu yang sudah membesarkan dan merawatnya sendirian hingga kini ia kuliah di Biologi FMIPA Universitas Lampung, maka ia urungkan niat sucinya, mungkin ia menunggu saat yang benar-benar tepat untuk berhijab.
(Sungguh, aku berdoa untukmu sahabat kecilku agar dirimu bisa secepatnya diberi jalan keluar atas keinginanmu, Amiin..
Ah, aku jadi rindu masa kecil kita dulu lepas Shubuh berangkat ngaji sama-sama ke masjid yang ada di Universitas Muhammadiah deket sekolah TK kita? Btw, gimana ya kabar guru TK kita itu? Aku udah lupa wajah mereka. Ups.. ^_^)
Umm.. Kalo cerita saya lain lagi. (Ada yang pengen tau ga? Hehehehehe..).
Sejak kecil saya sukaaa sekali melihat mbak-mbak yang berjilbab (persisnya sejak kapan dan umur berapa saya tidak tau). Mereka kelihatan anggun! Jujur aja, dulu, saat masih SD, kalo saya berangkat ke sekolah atau kemana-mana aja terus disapa dengan mbak-mbak yang berjilbab (dulu masih jarang kan jilbab?), dada saya langsung mengembang, rasanya saya terbang ke langit-langit biru, ge-er, dan bahagianya luar biasa karena disapa (sungguh, rasa bahagia saat disapa mbak-mbak berjilbab itu masih bisa saya rasakan sekarang). Lalu saya bercita-cita suatu hari nanti akan berjilbab seperti mbak-mbak itu.
Sering saya sampaikan kepada kedua orang tua saya, kalau sudah lulus SD saya inginnya melanjutkan sekolah di MTs saja, karena di sekolah tersebut seluruh siswinya wajib memakai jilbab. Saya ingin pakai jilbab!
Sewaktu lulus, orang tua saya merayu-rayu dan memberikan pertimbangan-pertimbangan agar saya sekolah di SMP umum saja. Yah, namanya juga anak baru lulus SD, dirayu sedikit aja langsung deh ikut.. Itulah, akhirnya saya belum jadi berjilbab saat SMP. Waktu itu pertimbangan orang tua saya seperti biasalah, takut susah cari kerja.
Walaupun terkena bujuk rayu sekolah di SMP biasa dan belum jadi pakai jilbab, keinginan untuk menutup aurat itu tidak serta merta hilang begitu saja. Keinginan itu tetap ada. Malah semakin kuat, semakin tertancap, dan seperti mendarah daging, menyatu dengan sumsum tulang. Dan di tengah-tengah perjalanan SMP saya sungguh menyesal mengikuti saran kedua orang tua saya. Saya menangis sejadi-jadinya. Saya minta pakai jilbab. Saya sampaikan keinginan saya itu kepada kedua orang tua saya sambil terisak-isak, marah, dan lelehan air mata yang tiada henti mengalir. Orang tua saya bingung. Mereka hanya diam. Ga gampang bagi orang-orang seperti kami mencari uang untuk membeli seragam sekolah baru dan segala perlengkapan berjilbab. Akhirnya, saya dirayu lagi. Orang tua saya bilang nanti aja SMA pakai jilbabnya. Dan orang tua saya juga meminta saya mempertimbangkan lagi bagaimana seandainya susah cari kerja nanti. Saya kekeuh, saya tetap ingin berjilbab. Tidak apa SMA nanti..
Tak lama lagi, sewaktu Bulan Ramadhan kalau tidak salah, saya menangis lagi. Saya ingin berjilbab. Secepatnya. Saya menangis sejadi-jadinya. Lalu sambil terisak-isak saya meminta kepada orang tua saya agar uang jatah beli baju lebaran saya dibelikan seragam sekolah saja. Orang tua saya melarang. Dan tidak memberikan pilihan lain selain bersabar sampai SMA. Andai dulu saya tahu kalau kakak kelas berjilbab yang sudah lulus SMP mau memberikan seragam sekolahnya yang sudah tidak terpakai lagi, pasti saya akan meminta pada mereka.
Hari-hari berikutnya adalah hari-hari mempersiapkan segalanya. Hati, akhlak, ibadah, baju-baju panjang, dan semuanya..
Waktu terus berlalu, hingga suatu pagi saya diantar langsung oleh Ayah saya untuk daftar ulang di sebuah SMA Negeri favorit sekecamatan. Alhamdulillah, sewaktu SMP prestasi belajar saya lumayan baik hingga saya berhasil masuk ke SMA Negeri. Daftar ulang pagi itu sekalian ukur baju. Saya memastikan kepada seorang yang mengukur baju itu kalau seragam yang akan saya pakai nanti adalah panjang, untuk siswi berjilbab. Saya tidak mau salah. Bisa brabe kalo sampe saya dapat seragam pendek. Bisa-bisa saya harus ulang dari nol lagi untuk pakai jilbab!
Dan hari yang dinanti-nanti itu datang juga. Ada rasa sejuk seperti embun yang menetes pagi hari di hati saya. Indah, damai, tentram. Saya hanya bisa menatap kedua orang tua saya untuk mengucapkan terima kasih tiada terkira atas izin dan kemudahan yang diberikan. Di sepanjang jalan, saya menunduk. Rasa malu menyelimuti seluruh diri saya. Kalau berjumpa dengan teman-teman, saya hanya bisa mengembangkan senyum, hingga mata saya yang sipit terasa menghilang dikarenakan wajah saya yang dipenuhi pipi yang mengembang. Rasa haru dan bahagia luar biasa. Teman-teman banyak yang memberi ucapan selamat dan mendoakan semoga saya bisa istiqomah menjaga hijab.
Alhamdulillah.. Alhamdulillah.. Alhamdulillah..
Allahu a'lam.
(Jazakumullah khairan katsir buat kedua orang tuaku, adik-adik yang mengikutiku, dan teman-teman yang menguatkan aku.
Sujud syukur sepenuh penghambaan kupersembahkan untuk DIA yang memberi hidayah sejak kecil kepadaku)